Hai, lelaki yang pernah kupercaya...
Kau, yang menabur janji bak benih di tanah subur hatiku,
Namun setiap musim hanya tumbuh duri—tajam, menusuk, tak berbuah kasih.
Dua tahun sudah, aku menghitung pecahan mimpi di lantai yang kau retakkan,
Memungut kepingan harapan yang kau hancurkan dengan tanganmu sendiri.
Dulu, aku yang kau tinggalkan sepi meski ada,
Berdiri di sampingmu, tapi merasa tak lebih dari bayang.
Kini anak-anak kita, buah cinta yang tak pernah kau lindungi,
Kau biarkan tenggelam dalam ketakutan, tanpa pelukan seorang ayah.
Hai, lelaki yang lupa bersyukur...
Betapa tak ternilai kesempatan yang kau buang.
Menjadi suami yang kucintai, ayah yang mereka banggakan,
Tapi kau memilih jalan yang merenggut senyum mereka,
Menggores luka yang dalam, di hati yang mestinya kau jaga.
Cukup sudah aku berdiam dalam racun harapan,
Cukup sudah aku memintal sabar dari benang-benang dustamu.
Janji-janji manismu, kini tak lebih dari racauan angin,
Dan aku tak lagi menanti apapun darimu.
Terima kasih—
Untuk luka yang menjadikanku kuat,
Untuk abaian yang mengajariku mandiri,
Untuk pengkhianatan yang membakar jiwaku menjadi api keberanian.
Aku berdiri hari ini, bukan karena cintamu—
Tapi karena aku memilih untuk bangkit,
Menjadi perempuan yang utuh tanpa sandaran,
Dan ibu yang mencintai tanpa batas, meski kau tak pernah mampu.
Jadi pergilah, lelaki yang tak pernah amanah...
Bawalah segala kehampaan yang kau ciptakan,
Karena aku telah selesai berjuang untuk sesuatu yang tak pernah hidup di tanganmu.
-----------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar